Thursday, June 29, 2017

Mbah Asy'ari Keras Ayah Pendiri NU (Nahdlatul 'Ulama)

K.H Hasyim Asy'ari
Kiai Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras, yang terletak di Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, sekitar tahun 1876. Ayahanda KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pengasuh Pesantren Tebuireng, ini dikenal pula sebagai perintis tradisi keilmuan pesantren di daerah Jombang.

Lahir di Demak, Jawa Tengah, sekitar tahun 1830. Menurut informasi dari keluarga Pesantren Tebuireng, seperti ditulis KH. M. Ishom Hadziq, ayah beliau bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Wahidadalah salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama “Pangeran Gareng”, di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir alias Sultan Pajang. Sejak muda Kiai Asy’ari nyantri di Pesantren Gedang, dekat Tambakberas, Jombang, sekitar dua kilometer dari pusat kota, dan berguru pada Kiai Usman.Pesantren Gedang didirikan oleh Kiai Abdus Salam atau dikenal dengan nama Kiai Shihah. Kiai asal Lasem, Rembang, ini bersama istrinya, Muslimah, membuka hutan di Gedang untuk mendirikan permukiman dan pesantren pada tahun 1825. Di antara santri beliau adalah Kiai Usman. Sufi dan ahli tarekat ini dinikahkan dengan putri sulung guru beliau bernama Nyai Layyinah. Keduanya kemudian dikarunia seorang putri sulung bernama Halimah (lahir 1851, disapa Winih).
Tidak lama setelah Kiai Usman wafat,
Sekitar tahun 1855 Halimah – ketika itu baru menginjak usia empat tahun dinikahkan dengan Kiai Asy’ari, santri senior Kiai Usman, yang berusia 25 tahun. Alasan pernikahan ini adalah untuk menyelamatkan garis keturunan pendiri pesantren yang akan menjadi pelanjut kepengasuhan pesantren usai wafatnya sang guru. Pasangan baru ini kemudian dikaruniai putra-putri: Nafiah, Ahmad Sholeh, Muhammad Hasyim (lahir 1871), Rodliah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Ma’shum, Nahrowi dan Adnan. Putra ketiga beliau ini yang kemudian terkenal sebagai pendiri Pesantren Tebuireng dan pendiri Nahdlatul Ulama. Nyai Halimah dikenal suka melakoni tirakat dan praktik sufi lainnya – mengikuti jejak ayahnya.Beliau pernah berpuasa selama tiga tahun berturut-turut dengan niat tertentu. Puasa tahun pertama ditujukan untuk kebaikan keluarga, tahun kedua diniatkan untuk kebaikan santrinya. Dan puasa tahun ketiga dimaksudkan untuk kemaslahatan masyarakat. Konon, saking khusyuknya dalam bertirakat, suatu hari saat mencuci beras, beras tersebut berubah menjadi butir-butir emas.

Kiai Asy’ari kemudian pindah bersama keluarganya ke Desa Keras dan mendirikan pesantren di sana sekitar tahun 1876. Sementara Pesantren Gedang berkembang menjadi Pesantren Tambakberas, Jombang, di bawah kepengasuhan saudara misan Kiai Asy’ari yaitu Kiai Said, yang kemudian menurunkan Kiai Chasbullah, ayahahanda KH. Abdul Wahab Chasbullah, pendiri NU. Waktu itu Kiai Hasyim masih kecil, dan baru diboyong dari tempat kelahirannya di Gedang. Di bawah asuhan Kiai Asy’ari Pesantren Keras mengandalkan ngaji kitab-kitab sorogan dan baru belakangan di abad 20 mulai dibuka madrasah. Kebanyakan yang mondok berasal dari Jawa Tengah, terutama dari Ambarawa dan Salatiga. Sementara yang berasal dari Jombang lebih banyak menjadi santri kalong. Para santri tidak tinggal di pondok, tapi ditempatkan di rumah-rumah penduduk. Ini dimaksudkan agar dakwah Islam bisa langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Memang tidak terlihat pemondokan besar. Di pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari digembleng pertama kali oleh ayahnya sebelum mengembara berguru menuntut ilmu di beberapa pesantren.

Kiai Asy’ari wafat sekitar tahun 1890 dan dimakamkan di lingkungan Pesantren Keras. Ketika putra ketiga beliau, KH. Hasyim Asy’ari, menikah di tahun 1892 dengan Nyai Nafisah, putri KH. Ya’qub bin Hamdani, pengasuh Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Kiai Asy’ari sudah tiada. Pesantren Keras kemudian dikelola masing-masing oleh putra beliau, KH. Saleh, dan menantu beliau, KH. Alwi, yang dikenal ahli bela diri dan kanuragan.Di tahun 1930-an,pesantren kemudian diasuh oleh KH. Basuni, lalu KH. Salahuddin (di masa itu tidak ada lagi yang mondok di tahun 1970-an), kemudian KH.Ahmad Labib di tahun 1990-an. Meski tidak sebesar Pesantren Tebuireng, Pesantren Keras mulai membuka madrasah dan berganti nama menjadi Pesantren Al-Asy’ari Keras.

disunting dari berbagai sumber

Tuesday, June 20, 2017

Kyai Ma'shum Ali Seblak, Ulama Nusantara Ahli Ilmu Sharaf dan Ilmu Falak

Kitab Amtsilatut Tashrifiyyah
Kyai Ma’shum bin Ali adalah ulama Nusantara yang terkenal sebagai sebagai maestro ilmu shorof dan juga ahli Falak. Ia juga pengarang kitab Amtsilatut Tasrifiyyah yang masih digunakan sebagai buku ajar tentang ilmu alat shorof hingga saat ini.

فعل - يفعل - فعلا - ومفعلا - فهو- فاعل - وذاك - مفعول - افعل - لا تفعل - مفعل ٢× - مفعل

Bait diatas mungkin tak asing di telinga kita, khususnya kalangan pesantren. Bait yang merupakan bagian dari rumus dari mempelajari ilmu gramatikal ini ternyata adalah mahakarya ulama Nusantara, KH. Ma'shum bin Ali.

Ulama' yang juga pengasuh pondok di Desa Seblak, Kecamatan Diwek inilah Sang Muallif kitab yang menjadi rujukan hampir setiap pesantren bahkan sampai mancanegara. Kitab yang dikenal dengan "Tasrifan" ini membuat ilmu shorof yang terasa rumit begitu mudah karena disajikan dalam bentuk bait.

Kitab mahakarya Menantu KH. Hasyim Asy'ari dari putrinyya Khoiriyyah ini jika diteliti ternyata sistematikan terdapat makna filosofi begitu tinggi. Salah satunya filosofi tentang pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam fi’il tsulasi mujarrad seperti dalam enam kalimat awal setelah wazan فعل - يفعل yakni نصر- ضرب - فتح -علم - حسن - حسب yang bermakna

“Pada awalnya sang santri yang menuntut ilmu ditolong oleh orang tuanya ( ﻧَﺼَﺮَ), sesampainya di pondok pesantren ia dipukul dan dididik ( ﺿَﺮَﺏَ). Kemudian setelah tersakiti dari dipukul, maka hatinya akan terbuka ( ﻓَﺘَﺢَ). Kemudian barulah ia akan menjadi orang yang mengetahui/pintar ( ﻋَﻠِﻢَ) dan yang menuntutnya agar berbuat baik ( ﺣَﺴُﻦَ). Seraya  berharap masuk surga di sisi Allah SWT (ﺣَﺴِﺐَ)."

Dan sistematika diatas dirangkum dalam bait:

ﻓَﺘْﺢُ ﺿَﻢٍّ ﻓَﺘْﺢُ ﻛَﺴْﺮٍ ﻓَﺘْﺤَﺘَﺎﻥِ * ﻛَﺴْﺮُ ﻓَﺘْﺢٍ ﺿَﻢُّ ﺿَﻢٍّﻛَﺴْﺮَﺗَﺎﻥِ


Pengarang kitab Ilmu Sharaf legendaris ini berasal Kota Pudak, Gresik. Awal pendidikannya diasuh oleh ayahnya sendiri kemudian melanjutkan ke Tebuireng. Kedatangannya ke sana juga disusul oleh adik kandungnya, KH. Adlan Ali yang kelak atas inisiatif Hadratus Syeikh, mendirikan Pondok Putri Wali Songo depan Pabrik Gula Cukir, Jombang.

Setelah lama mengabdi di Tebuireng beliau berhijrah ke Dusun Seblak, 300 meter sebelah Barat Tebuireng yang di kala itu masyarakatnya masih banyak yang melakukan kemungkaran, seperti warga Tebuireng di masa lampau sebelum Kyai Hasyim mendirikan pesantren.

Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu yang berkembang menjadi pondok dan masjid dan berkembang cukup pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, tetapi beliau tetap istiqomah mengajar di Madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng, membantu Hadratus Syeikh mendidik santri.

Selain mahir dalam ilmu gramatikal arab dalam Amsila At-Tasrifiyyah, beliau juga memiliki karya lain seperti Fathul Qadir. Kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Kitab ini diterbitkan Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1920-an, ketika beliau masih hidup. Jumlah halamannya lumayan tipis tapi lengkap. Kitab ini juga tidak sulit ditemukan di pasaran.

Ad-Durus al-Falakiyah adalah karya beliau yang lain dalam.bidang ilmu falak, dimana dalam kitab ini ilmu perbintangan ini disajikan dengan simpel karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi matahari, dan sebagainya. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini terdiri atas 3 juz yang setiap juz terdiri dari 109 halaman.

Kitab keempat adalah Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya demikian banyak, berjalan mengelilingi bumi. Teori ini mirip teori Geosentris oleh Claudius Ptolomeus.

Meski berilmu tinggi beliau begitu tawaddu', akrab dengan masyarakat dan bersedia berguru pada siapun tak pandang bulu seperti beliau yang pernah berguru kepada seorang nelayan di atas perahu yakni selama dalam perjalanan haji dan Hasil dari perjalanan itu beliau bisa menuntaskan kitab Badi’ah al-Mitsal.

Beliau juga dikenal sufi dan zuhud sebagaimana sesaat menjelang wafat seluruh fotonya dibakar. Padahal koleksi itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tidak lain karena beliau takut identitasnya diketahui banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.

Dalam kesehariannya beliau juga mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Seperti pada mertuanya Kyai Hasyim sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, tak lupa beliau membawakan kitab al-Jawahir al-Lawami’ sebagai hadiah. Bahkan kitab as-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama hadratus syeikh ketika mengarang kitab.

Tetapi disisi lain beliau juga pernah berdebat dengan sang mertua sebagaimana penuturan almarhumah Nyai Khoiriyah Hasyim. Ada dua persoalan yang pernah diperdebatkan. Pertama, soal hukum foto yang Menurut Kiai Ma’shum tidak haram. Sedangkan Kyai Hasyim berpandangan sebaliknya.

Persoalan kedua adalah permulaan bulan puasa. Kiai Ma’shum, yang mumpuni ilmu falaknya telah menentukannya dengan hisab (perhitungan astronomis), sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan teori rukyatul hilal (observasi bulan). Dan karena perbedaan ini, keluarga Kiai Ma’sum di Seblak terlebih dahulu berpuasa daripada keluarga Mbah Hasyim dan santrinya di Tebuireng.

Di usia 46 tahun, Allah SWT memanggil kekasihnya ini pada 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933 setelah sebelumnya sempat menderita penyakit paru-paru dan dimakamkan di kompleks pemakaman pesantren Tebuireng Cukir Jombang.