Thursday, October 26, 2017

Dari pengasuh Pondok hingga Politisi || Biografi Kyai Mahfudz Seblak


K.H Mahfudz Anwar adalah salah satu tokoh ulama kharismatik dari kalangan Nahdlatul ‘Ulama (NU). Pada bidang ilmu falak tersebut, KH Mahfudz diakui memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni. Tidak hanya ilmu falak, ia pun menguasai dengan sangat mendalam ilmu fikih serta tafsir. KH Mahfudz Anwar juga dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis), sufi (ahli tasawuf), dan ahlul lughah (ahli bahasa/etimolog). Kemampuan yang dimiliki tidak lepas dari latar belakang keluarga yang membimbingnya serta pendidikan yang ditekuninya. KH. Mahfudz Anwar dilahirkan di Paculgowang 2 km dari Pondok pesantren Tebuireng Jombang pada tanggal 12 April 1912. Kedua orang tua beliau adalah Kyai Anwar Alwi dan ibu Khadijah. Ia adalah anak ke-6 dari 12 bersaudara,
KH Anwar Ali adalah seorang ‘Ulama besar pengasuh pondok Pesantren Tarbiyatun Nasi’in Pacul Gowang. KH Anwar Alwi satu periode dengan KH. Hasyim Asy’ari Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Mereka sama-sama murid KH. Kholil Bangkalan Madura
Dilihat dari latar belakang keluarga santri yang berbasiskan pesantren itu sangat wajar apabila kyai Mahfudz Anwar tumbuh di dalam lingkungan religius dan keilmuwan agama yang tinggi. Mahfudz muda menamatkan sekolah dasarnya di pesantren Ayahnya sendiri di Paculgowang, kemudian melanjutkan ke Pondok Tebuireng. Di tebuireng mulai dari kelas shifir awal, tsani, tsalis, dst (kelas 1 sampai kelas VI). Karena kecerdasannya yang tinggi maka ketika mencapai kelas IV ia sudah ditugasi untuk mengajar adik kelasnya, padahal umurnya lebih tua darinya. Ini menunjukkan bahwa Mahfudz kecil memang sudah kelihatan kecerdasannya. Baru setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru resmi di Pesantren Tebuireng. Banyak murid ustadz Mahfudz yang nantinya menjadi orang besar, pemimpin masyarakat, misalnya KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Tholhah Hasan bahkan Kiai As’ad Syamsul Arifin sempat berguru padanya.[1]
Disamping kesibukannya mengajar di pondok Tebuireng Mahfudz muda juga menyempatkan diri berguru kepada K.H Ma’shum ‘Ali Seblak, seorang ulama ahli falak dan pencetus nadzam ilmu sharaf dan pengasuh pondok seblak.
Dibawah asuhan K.H Ma’shum Ali, Mahfudz muda menunjukkan bakat yang luar biasa, sehingga KH. Ma’shum Ali tertarik untuk mengambilnya sebagai menantu. Hal ini terasa wajar karena tradisi masa itu biasanya seorang Kyai rata-rata menjadikan Murid terbaiknya sebagai menantu demi kesinambungan kepemimpinan pesantren. Akhirnya hal itu diberitahukan kepada Mahfudz Muda dan Keluarganya. Setelah semuanya setuju, maka dilangsungkanlah pernikahan antara Mahfudz (25 th) dengan Hj. Abidah (9 Th). Setelah nikah Mahfudz masih terus mengajar di pesantren Tebuireng pada waktu siang hari dan pesantren Seblak pada waktu malam hari, dan mereka baru berkumpul secara resmi sebagai sebuah rumah tangga ( Suami-Istri ) pada waktu Hj. Abidah berusia 11 Th.
Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali wafat. Maka diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim mengambil alih kepemimpinan pesantren tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikah dengan Kiai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun pindah ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergian sang suami ke Makkah adalah untuk menuntut ilmu dari para ulama di Tanah Suci.
Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah Darul Ulum di Makkah, menggantikan ulama besar Nusantara, Syeikh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci. Pada tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud. Sebuah madrasah khusus perempuan pertama di Tanah Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama Madrasah Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri bagi umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka madrasah perempuan pertama di Makkah.
Selama Hj. Khoiriyah Hasyim di Mekkah, Tongkat kepemimpinan pesantren diserahkan sementara kepada KH. Mahfudz Anwar yang merupakan murid kesayangannya. Kebetulan KH. Ma’shum Ali hanya dikaruniai dua dan semuanya Putri, yaitu : Abidah dan Jamilah.
Ketika Hj. Khoiriyah kembali ke Seblak itulah, KH. Mahfudz Anwar bersama Hj. Abidah membangun rumah sekaligus membangun pondok pesantren di Jombang tepatnya di jalan Jaksa agung suprapto no. 14 Jombang. Kampung yang ditempati oleh KH. Mahfudz Anwar sekeluarga itu asalnya adalah perumahan komplek Belanda yang pada waktu itu menjajah bumi Indonesia. Pada waktu itu tanah tersebut kena bumi hangus penjajah Jepang, sehingga kondisinya porak poranda, akhirnya vakum tidak ada pemiliknya yang sah. Ada petugas yang menjaga tanah itu, namanya Pak Drais ( Suaminya ibu Kholifah, utaranya depot Abadi yang sekarang sudah meninggal. Pada waktu itu tanah ini berupa kebon seperti Mangga dll, dan belum ada pagarnya. Rumah kosong itu kemudian diobral, akhirnya KH. Mahfudz Anwar berhasil memenangkannya. Beliau akhirnya dapat membeli tanah tersebut dengan harga kira-kira 16 Rupiah. Luas tanah tersebut lumayan luas (seperti sekarang ini Rumah, Pondok putri, dan Halaman ). Kondisi rumah itu hancur dan porakporanda, yang ada hanya pondasi kecil, tidak ada dapur dan atap dan peralatan yang lain. Belum ada Musholla apalagi masjid dan lain-lain. KH. Mahfudz Anwar pindah ke rumah itu pada tahun 1956. KH. Mahfudz Anwar membawa 18 Santri Putrinya ( dari Pondok Seblak ) menetap dan menemani beliau disana.
Mereka bertempat tinggal satu rumah dengan KH. Mahfudz Anwar. Mereka menempati satu kamar panjang ( rumah itu pada waktu dulu ada dua kamar, satu kamar yang panjang untuk 18 santri putri, dan satu kamar untuk KH. Mahfudz Anwar sekeluarga ). Alangkah sederhana kehidupan KH. Mahfudz Anwar sebagai cermin keluhuran budi dan keikhlasannya dalam berjuang menegakkan agama islam.
Karena KH Ma’shum Ali keburu meninggal dunia, dia belajar falak lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang menjadi kepala pondok Seblak. Setelah menguasai falak, maka diskusi dan perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah. Maka tidak heran, KH Mahfudz dan Mas Dain dalam tempo yang singkat mampu menjadi pakar falak yang betul-betul mumpuni. Momentum paling tepat untuk menguji kepakaran mereka adalah saat rukyatul hilal (penentuan) awal Ramadlan dan Syawal, sebuah momen yang akurasinya sangat ditunggu oleh masyarakat. Setiap menjelang Ramadhan dan Syawal, Kiai Mahfudz dan Mas Dain pergi ke gunung Tunggorono, sebelah barat kota Jombang, untuk melakukan rukyah (pemantauan), melihat bulan setelah diperhitungkan sesuai dengan hasil hisab (perhitungan) masing-masing. Setelah rukyah selesai, mereka kembali ke pondok mendiskusikan hasil rukyah masing-masing. Perdebatan, untuk adu argumentasi dan ketajaman menganalisa serta kecermatan dalam mengamati hilal (tanggal) menjadi kunci kemenangan. Siapa yang paling benar dan kuat dalilnya yang keluar sebagai pemenang. Kiai Mahfudz sering menang dalam perdebatan ini. Dengan kecemerlangan dalam ilmu falak semakin mengukuhkan kualitas keulamaan dan kelebihannya di atas ulama lain. Kebanyakan ulama, khususnya ulama NU hanya menguasai ilmu fikih. Jarang dari mereka yang memiliki kepakaran langsung bidang fikih, tafsir dan sekaligus falak.
Di organisasi NU, ia menempuh jalur dari yang paling bawah sebagai pengurus ranting (desa) Seblak dan akhirnya masuk ke jajaran PCNU (pengurus Cabang Nahdlatul Ulama). Ia pernah menjadi rais syuriah dua periode berturut-turut. Dari NU Cabang Jombang kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU Wilayah Jawa Timur. Namun, karena kepakarannya yang sulit tertandingi pada ilmu falak, maka dia diserahi tugas memegang posisi Ketua Lajnah Falakiyah PBNU sampai tahun 1993. Sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Mahfudz sering mendapat tantangan berat khususnya dari pihak pemerintah orde baru. Pernah hasil rukyah untuk menentukan hari raya berbeda dengan pemerintah selama tiga kali berturut-turut. Seluruh kyai dan warga NU berada penuh di belakang Kiai Mahfudz, benturan antara NU dan pemerintah tidak terelakkan. Walaupun pikirannya tidak diterima pemerintah, sebaliknya masyarakat sangat menghormatinya. Terbukti setiap menjelang 1 Syawal mulai ba’da Maghrib sampai larut malam, halaman rumahnya penuh dengan masyarakat yang ingin mendapatkan kepastian tanggal jatuhnya bulan Syawal.
Kehandalannya dalam ilmu fikih dan falak membuat pemerintah pada tahun 1951 mengangkatnya sebagai Hakim Agama Kabupaten Jombang. Jabatan itu diduduki selama 4 tahun. Melihat prestasi Kiai Mahfudz yang sangat baik di Pengadilan Agama Jombang, akhirnya tahun 1955, beliau dipromosikan menjadi Wakil Direktur Peradilan Agama Depag Jakarta. Ia hanya kuat bertahan 3 bulan di Jakarta. Beruntung, permintaan kembali ke kampung halaman dikabulkan. Namun tidak di Jombang, tapi di Mojokerto. Di kota ini ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama. Setelah beberapa tahun di Mojokerto, pangkatnya naik menjadi Hakim Pengadilan Agama di Surabaya.
Pada saat menjabat sebagai hakim di PA Surabaya, ia diminta menjadi dosen fikih dan tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Beberapa tahun kemudian, ia dipilih menjadi dekan pertama di Fakultas Ushuluddin IAIN Surabaya. Selain itu juga ngajar di Universitas NU Surabaya. Seluruh waktunya untuk mengabdi di NU dan masyarakat terutama dalam pengembangan dan pengajaran lmu falak yang semakin tidak diminati. Sampai akhir hayatnya, ia masih berusaha melakukan hitungan falak sampai tahun 2003. Dalam sebuah pertemuan KH Mahfudz berkata, "Kita harus memperhatikan pengetahuan umum dan ketrampilan agar anak-anak kita siap pakai nantinya, seperti KH A Wahid Hasyim yang mampu menjadi menteri agama." Ketika usianya semakin senja, tokoh itu sangat prihatin, sebab semakin sedikit santri yang berminat dalam bidang falak.
Di pesantren sendiri ilmu itu hanya diajarkan sambil lalu, sebagai pengenalan, tidak dikaji secara mendalam. Dia pun lantas mengambil langkah dengan membuka pengajian khusus ilmu falak di rumahnya. Pengajian khusus itu banyak diminati masyarakat, tidak hanya santri, tetapi banyak warga NU. Forum pengajian selalu ramai karena dihadiri oleh para ulama dari kabupaten Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Kiai Mahfudz wafat pada malam Jumat, 20 Mei 1999. Walaupun sehari-hari disibukkan dengan kegiatan mengajar dan mengurus birokrasi dan juga di pengurusan NU, namun tidak menghalangi kiai ini untuk berkarya secara kualitatif. Di antara karya tulisnya yang bisa diidentifikasi adalah: 
* Fadlail al-Syuhur, sebuah kitab yang tidak ada namanya, namun berisi keutamaan semua bulan, mulai Syawal sampai Ramadlan. 
* Risalah Asyura min Ahlis Sunnah Wal Jamaah, menerangkan tentang keistimewaan bulan Asyura, Muharram. Kandungan buku ini beliau sebar ke masyarakat sekitar dan mengajak mereka bersama-sama mengamalkannya. 
* Penulis pertama Nadhoman Tahsrif Lughowiyah dan Ishtilahiyah dalam kitab Amtsilah Al-Tashrifiyah. Kitab itu kemudian diserahkan di ke penerbit di Timur Tengah untuk dicetak. Para ulama Timur Tengah kagum pada kecerdasan dan kreatifitas ulama ini, sehingga kitab tersebut menjadi kurikulum wajib di sekolah-sekolah di Timur Tengah.





[1] www. nu.or.id diakses pada tanggal 4 September 2014

No comments:

Post a Comment