Thursday, October 26, 2017

Dari pengasuh Pondok hingga Politisi || Biografi Kyai Mahfudz Seblak


K.H Mahfudz Anwar adalah salah satu tokoh ulama kharismatik dari kalangan Nahdlatul ‘Ulama (NU). Pada bidang ilmu falak tersebut, KH Mahfudz diakui memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni. Tidak hanya ilmu falak, ia pun menguasai dengan sangat mendalam ilmu fikih serta tafsir. KH Mahfudz Anwar juga dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis), sufi (ahli tasawuf), dan ahlul lughah (ahli bahasa/etimolog). Kemampuan yang dimiliki tidak lepas dari latar belakang keluarga yang membimbingnya serta pendidikan yang ditekuninya. KH. Mahfudz Anwar dilahirkan di Paculgowang 2 km dari Pondok pesantren Tebuireng Jombang pada tanggal 12 April 1912. Kedua orang tua beliau adalah Kyai Anwar Alwi dan ibu Khadijah. Ia adalah anak ke-6 dari 12 bersaudara,
KH Anwar Ali adalah seorang ‘Ulama besar pengasuh pondok Pesantren Tarbiyatun Nasi’in Pacul Gowang. KH Anwar Alwi satu periode dengan KH. Hasyim Asy’ari Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Mereka sama-sama murid KH. Kholil Bangkalan Madura
Dilihat dari latar belakang keluarga santri yang berbasiskan pesantren itu sangat wajar apabila kyai Mahfudz Anwar tumbuh di dalam lingkungan religius dan keilmuwan agama yang tinggi. Mahfudz muda menamatkan sekolah dasarnya di pesantren Ayahnya sendiri di Paculgowang, kemudian melanjutkan ke Pondok Tebuireng. Di tebuireng mulai dari kelas shifir awal, tsani, tsalis, dst (kelas 1 sampai kelas VI). Karena kecerdasannya yang tinggi maka ketika mencapai kelas IV ia sudah ditugasi untuk mengajar adik kelasnya, padahal umurnya lebih tua darinya. Ini menunjukkan bahwa Mahfudz kecil memang sudah kelihatan kecerdasannya. Baru setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru resmi di Pesantren Tebuireng. Banyak murid ustadz Mahfudz yang nantinya menjadi orang besar, pemimpin masyarakat, misalnya KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Tholhah Hasan bahkan Kiai As’ad Syamsul Arifin sempat berguru padanya.[1]
Disamping kesibukannya mengajar di pondok Tebuireng Mahfudz muda juga menyempatkan diri berguru kepada K.H Ma’shum ‘Ali Seblak, seorang ulama ahli falak dan pencetus nadzam ilmu sharaf dan pengasuh pondok seblak.
Dibawah asuhan K.H Ma’shum Ali, Mahfudz muda menunjukkan bakat yang luar biasa, sehingga KH. Ma’shum Ali tertarik untuk mengambilnya sebagai menantu. Hal ini terasa wajar karena tradisi masa itu biasanya seorang Kyai rata-rata menjadikan Murid terbaiknya sebagai menantu demi kesinambungan kepemimpinan pesantren. Akhirnya hal itu diberitahukan kepada Mahfudz Muda dan Keluarganya. Setelah semuanya setuju, maka dilangsungkanlah pernikahan antara Mahfudz (25 th) dengan Hj. Abidah (9 Th). Setelah nikah Mahfudz masih terus mengajar di pesantren Tebuireng pada waktu siang hari dan pesantren Seblak pada waktu malam hari, dan mereka baru berkumpul secara resmi sebagai sebuah rumah tangga ( Suami-Istri ) pada waktu Hj. Abidah berusia 11 Th.
Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali wafat. Maka diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim mengambil alih kepemimpinan pesantren tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikah dengan Kiai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun pindah ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergian sang suami ke Makkah adalah untuk menuntut ilmu dari para ulama di Tanah Suci.
Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah Darul Ulum di Makkah, menggantikan ulama besar Nusantara, Syeikh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci. Pada tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud. Sebuah madrasah khusus perempuan pertama di Tanah Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama Madrasah Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri bagi umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka madrasah perempuan pertama di Makkah.
Selama Hj. Khoiriyah Hasyim di Mekkah, Tongkat kepemimpinan pesantren diserahkan sementara kepada KH. Mahfudz Anwar yang merupakan murid kesayangannya. Kebetulan KH. Ma’shum Ali hanya dikaruniai dua dan semuanya Putri, yaitu : Abidah dan Jamilah.
Ketika Hj. Khoiriyah kembali ke Seblak itulah, KH. Mahfudz Anwar bersama Hj. Abidah membangun rumah sekaligus membangun pondok pesantren di Jombang tepatnya di jalan Jaksa agung suprapto no. 14 Jombang. Kampung yang ditempati oleh KH. Mahfudz Anwar sekeluarga itu asalnya adalah perumahan komplek Belanda yang pada waktu itu menjajah bumi Indonesia. Pada waktu itu tanah tersebut kena bumi hangus penjajah Jepang, sehingga kondisinya porak poranda, akhirnya vakum tidak ada pemiliknya yang sah. Ada petugas yang menjaga tanah itu, namanya Pak Drais ( Suaminya ibu Kholifah, utaranya depot Abadi yang sekarang sudah meninggal. Pada waktu itu tanah ini berupa kebon seperti Mangga dll, dan belum ada pagarnya. Rumah kosong itu kemudian diobral, akhirnya KH. Mahfudz Anwar berhasil memenangkannya. Beliau akhirnya dapat membeli tanah tersebut dengan harga kira-kira 16 Rupiah. Luas tanah tersebut lumayan luas (seperti sekarang ini Rumah, Pondok putri, dan Halaman ). Kondisi rumah itu hancur dan porakporanda, yang ada hanya pondasi kecil, tidak ada dapur dan atap dan peralatan yang lain. Belum ada Musholla apalagi masjid dan lain-lain. KH. Mahfudz Anwar pindah ke rumah itu pada tahun 1956. KH. Mahfudz Anwar membawa 18 Santri Putrinya ( dari Pondok Seblak ) menetap dan menemani beliau disana.
Mereka bertempat tinggal satu rumah dengan KH. Mahfudz Anwar. Mereka menempati satu kamar panjang ( rumah itu pada waktu dulu ada dua kamar, satu kamar yang panjang untuk 18 santri putri, dan satu kamar untuk KH. Mahfudz Anwar sekeluarga ). Alangkah sederhana kehidupan KH. Mahfudz Anwar sebagai cermin keluhuran budi dan keikhlasannya dalam berjuang menegakkan agama islam.
Karena KH Ma’shum Ali keburu meninggal dunia, dia belajar falak lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang menjadi kepala pondok Seblak. Setelah menguasai falak, maka diskusi dan perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah. Maka tidak heran, KH Mahfudz dan Mas Dain dalam tempo yang singkat mampu menjadi pakar falak yang betul-betul mumpuni. Momentum paling tepat untuk menguji kepakaran mereka adalah saat rukyatul hilal (penentuan) awal Ramadlan dan Syawal, sebuah momen yang akurasinya sangat ditunggu oleh masyarakat. Setiap menjelang Ramadhan dan Syawal, Kiai Mahfudz dan Mas Dain pergi ke gunung Tunggorono, sebelah barat kota Jombang, untuk melakukan rukyah (pemantauan), melihat bulan setelah diperhitungkan sesuai dengan hasil hisab (perhitungan) masing-masing. Setelah rukyah selesai, mereka kembali ke pondok mendiskusikan hasil rukyah masing-masing. Perdebatan, untuk adu argumentasi dan ketajaman menganalisa serta kecermatan dalam mengamati hilal (tanggal) menjadi kunci kemenangan. Siapa yang paling benar dan kuat dalilnya yang keluar sebagai pemenang. Kiai Mahfudz sering menang dalam perdebatan ini. Dengan kecemerlangan dalam ilmu falak semakin mengukuhkan kualitas keulamaan dan kelebihannya di atas ulama lain. Kebanyakan ulama, khususnya ulama NU hanya menguasai ilmu fikih. Jarang dari mereka yang memiliki kepakaran langsung bidang fikih, tafsir dan sekaligus falak.
Di organisasi NU, ia menempuh jalur dari yang paling bawah sebagai pengurus ranting (desa) Seblak dan akhirnya masuk ke jajaran PCNU (pengurus Cabang Nahdlatul Ulama). Ia pernah menjadi rais syuriah dua periode berturut-turut. Dari NU Cabang Jombang kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU Wilayah Jawa Timur. Namun, karena kepakarannya yang sulit tertandingi pada ilmu falak, maka dia diserahi tugas memegang posisi Ketua Lajnah Falakiyah PBNU sampai tahun 1993. Sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Mahfudz sering mendapat tantangan berat khususnya dari pihak pemerintah orde baru. Pernah hasil rukyah untuk menentukan hari raya berbeda dengan pemerintah selama tiga kali berturut-turut. Seluruh kyai dan warga NU berada penuh di belakang Kiai Mahfudz, benturan antara NU dan pemerintah tidak terelakkan. Walaupun pikirannya tidak diterima pemerintah, sebaliknya masyarakat sangat menghormatinya. Terbukti setiap menjelang 1 Syawal mulai ba’da Maghrib sampai larut malam, halaman rumahnya penuh dengan masyarakat yang ingin mendapatkan kepastian tanggal jatuhnya bulan Syawal.
Kehandalannya dalam ilmu fikih dan falak membuat pemerintah pada tahun 1951 mengangkatnya sebagai Hakim Agama Kabupaten Jombang. Jabatan itu diduduki selama 4 tahun. Melihat prestasi Kiai Mahfudz yang sangat baik di Pengadilan Agama Jombang, akhirnya tahun 1955, beliau dipromosikan menjadi Wakil Direktur Peradilan Agama Depag Jakarta. Ia hanya kuat bertahan 3 bulan di Jakarta. Beruntung, permintaan kembali ke kampung halaman dikabulkan. Namun tidak di Jombang, tapi di Mojokerto. Di kota ini ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama. Setelah beberapa tahun di Mojokerto, pangkatnya naik menjadi Hakim Pengadilan Agama di Surabaya.
Pada saat menjabat sebagai hakim di PA Surabaya, ia diminta menjadi dosen fikih dan tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Beberapa tahun kemudian, ia dipilih menjadi dekan pertama di Fakultas Ushuluddin IAIN Surabaya. Selain itu juga ngajar di Universitas NU Surabaya. Seluruh waktunya untuk mengabdi di NU dan masyarakat terutama dalam pengembangan dan pengajaran lmu falak yang semakin tidak diminati. Sampai akhir hayatnya, ia masih berusaha melakukan hitungan falak sampai tahun 2003. Dalam sebuah pertemuan KH Mahfudz berkata, "Kita harus memperhatikan pengetahuan umum dan ketrampilan agar anak-anak kita siap pakai nantinya, seperti KH A Wahid Hasyim yang mampu menjadi menteri agama." Ketika usianya semakin senja, tokoh itu sangat prihatin, sebab semakin sedikit santri yang berminat dalam bidang falak.
Di pesantren sendiri ilmu itu hanya diajarkan sambil lalu, sebagai pengenalan, tidak dikaji secara mendalam. Dia pun lantas mengambil langkah dengan membuka pengajian khusus ilmu falak di rumahnya. Pengajian khusus itu banyak diminati masyarakat, tidak hanya santri, tetapi banyak warga NU. Forum pengajian selalu ramai karena dihadiri oleh para ulama dari kabupaten Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Kiai Mahfudz wafat pada malam Jumat, 20 Mei 1999. Walaupun sehari-hari disibukkan dengan kegiatan mengajar dan mengurus birokrasi dan juga di pengurusan NU, namun tidak menghalangi kiai ini untuk berkarya secara kualitatif. Di antara karya tulisnya yang bisa diidentifikasi adalah: 
* Fadlail al-Syuhur, sebuah kitab yang tidak ada namanya, namun berisi keutamaan semua bulan, mulai Syawal sampai Ramadlan. 
* Risalah Asyura min Ahlis Sunnah Wal Jamaah, menerangkan tentang keistimewaan bulan Asyura, Muharram. Kandungan buku ini beliau sebar ke masyarakat sekitar dan mengajak mereka bersama-sama mengamalkannya. 
* Penulis pertama Nadhoman Tahsrif Lughowiyah dan Ishtilahiyah dalam kitab Amtsilah Al-Tashrifiyah. Kitab itu kemudian diserahkan di ke penerbit di Timur Tengah untuk dicetak. Para ulama Timur Tengah kagum pada kecerdasan dan kreatifitas ulama ini, sehingga kitab tersebut menjadi kurikulum wajib di sekolah-sekolah di Timur Tengah.





[1] www. nu.or.id diakses pada tanggal 4 September 2014

Sunday, October 8, 2017

Ulama peduli Ummat dan Bangsa

Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari 

Hadrastussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari yang akrab dipanggil kyai Hasyim adalah sosok ulama yang mempunyai karakteristik tersendiri yang unik, dan khas. Beliau merepresentasikan karakter khas ulama Indonesia. Selain sebagai sosok yang mempunyai kecerdasan intelektual, beliau juga seorang organisatoris, pendidik, bahkan warga masyarakat yang mempunyai etos kerja dan asketisisme yang tinggi.
Tidak hanya itu, kelahiran Nahdlatul ‘Ulama dalam konteks islam Indonesia telah menjadikan kyai Hasyim tidak hanya dikenal di Tanah Air, tetapi juga menarik perhatian banyak kalangan. James J, Fox (1999), Antropolog dari Australian National University, menyebutkan bahwa beliau sebagai salah satu wali yang sangat berpengaruh di jawa karena mempunyai kedalaman ilmu dan diyakini membawa berkah bagi pengikutnya. Selain itu juga kyai Hasyim sebagai sosok yang istimewa serta mempunyai hubungan keluarga dengan para kyai di jawa dan Prabu Brawijaya.
Di samping itu, satu hal yang perlu dicatat dari keteladanan kyai Hasyim, beliau seorang ulama yang mempunyai keteladanan yang tinggi terhadap umat dan bangsa yang majemuk.
Sebagai warga negara, beliau merupakan simbol dari ulama yang nasionalis, yang hidupnya dipersembahkan untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Peran kyai Hasyim dalam kemerdekaan tidaklah diragukan lagi. Sejarah mencatat, beliau melawan penjajah dan tak mau bertekuk lutut pada kehendak mereka. Tidak hanya itu, beliau turut membangun bangsa ini melalui pendidikan keagamaan yang memperkukuh semangat kebangsaan.
Meskipun kyai Hasyim belajar ke Mekkah, yang dikenal menaut paham wahabi, kyai Hasyim tidak serta-merta menjadi seperti kalangan wahabi yang di kenal puritan dan menolak berbagai tradisi lokal. Bahkan, beliau menjadi seorang kyai yang tegas menolak paham wahabi dan memberikan penjelasan dengan cermat khususnya dalam memahami kata bid’ah, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya; Risalah Ahlis-Sunnah wal Jama’ah : fi Haditsil Mawta wa Asyrathis-Sa’ah wa Baya Mafhumis-Sunnah wal Bid’ah.
Dalam hal ini, kyai Hasyim dengan tegas membuktikan perbedaan dengan kalangan modernis, yang relatif dulunya dikenal puritan dalam memahami paradigma bid’ah. Meskipun demikian, beliau meminta agar perbedaan tersebut tidak memupuk perpecahan di tengah-tengah umat. Perbedaan harus dilihat sebagai rahmat Tuhan.
Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari

Dalam hal ini, Kyai Hasyim merupakan salah satu karakter dari ulama Jawa yang mempunyai kaakteristik tersendiri yang unik dan khas Indonesia. M.C Ricklefs dalam Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions (1830-1930) menyebutkan, setidaknya ada tiga corak keislaman di Jawa.
Pertama, Corak keislaman yang memanifestasikan identitas keislaman yang sangat kuat. Misalnya, Sultan Mangkubumi di Yogyakarta adalah seorang raja Jawa yang sejak muda ditempa dengan pendidikan keagamaan yang ketat, seperti pembelajaran tentang kesederhanaan dan menghafal Al Qur’an. Begitu pula Pangeran Mangkunagara I. Ia adalah seorang yang shaleh dan taat beragama. Pangeran Mangkunagara I dikisahkan sebagai seorang yang rajin melaksanakan shalat, mengajar masyarakat cara melaksanakan shalat yang baik, serat suka melakukan khataman Al Qur’an dengan kalangan santri.
Kedua, Corak keislaman yang memadukan mistisisme dengan ajaran Islam yang fundamental, seperti meyakini mistisisme sebagai sebuah kebudayaan pada zaman itu, mereka tidak meninggalkan rukun Islam yang lima. Hal itu dapat ditemukan dalam Serat Wulangreh yang menggabungkan mistisisme dan rukun Islam.
Ketiga, Corak keislaman yang mengakomodasikan kekuatan spiritual lokal. Dalam hal ini, nilai-nilai keislaman tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai kearifan lokal, bahkan justru dilakukan interaksi dan akulturasi dengan kebudayaan setempat.
Gambaran keberagaman masyarakat Jawa seperti ini mempunyai nilai plus karena memungkinkan  seleksi kultural dari paham-paham yang bersifat hitam-putih. Faktanya, keberagaman kalangan pesantren yang merupakan mayoritas cenderung menolak dan menentang keras paham tersebut karena tidak sesuai dengan kearifan lokal.

Didalam berbagai tulisannya, Kyai Hasyim sangat menitikberatkan perihal pentingnya ulama sebagai sosok yang harus melestarikan nilai-nilai profetik, asketisisme, dan intelektualisme. Yang terpenting, karakter seorang ulama adalah senantiasa takut kepada Allah SWT karena setiap tindakannya akan menjadi panutan bagi pengikut dan masyarakat pada umumnya

Saturday, July 8, 2017

Biografi Imam Syafi'i


Imam Syafi'i

 1. Namanya
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin AlMuttalib (ayah Abdul Muttalib kakek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada Abdi Manaf.  
Beliau bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.  
2. Kelahiran  
Imam Al-Baihaqi menyebutkan,”Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.
Ibnu Hajar menambahkan,” Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di kota Asqalan. Ketika berusia dua tahun ibunya membawanya ke Hijaz dan hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Diusia 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap”.


3. Perjalanannya menuntut ilmu
Dalam usia 7 tahun Imam Asy-Syafi’i selesai menghafal Al-Qur’an dan usia 10 tahun beliau hafal Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk berfatwa. Beliau juga banyak menghafal syair-syair Hudzail. Setelah itu beliau pergi ke Madinah untuk belajar fiqih dari Imam Malik bin Anas hingga Imam Malik wafat tahun 179H, setelah itu beliau belajar dai Sufyan bin ‘Uyainah.  
Dari hasil menggadaikan rumahnya seharga 16 dinar, Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Karena ketidakmampuannya beliau bekerja di Yaman sambil belajar dari para ulama-ulama di sana di antaranya Ibnu Abi Yahya dan lainnya.  
Ketika itu, di saat pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid terjadi fitnah ‘Alawiyyin yang mengakibatkan seluruh ‘Alawiyyin terusir dari Yaman termasuk Imam Syafi’i. Beliau bersama rombongan ‘Alawiyyin dibawa ke Irak dengan diikat dan sambil disiksa. Keluar dari penjara Irak beliau belajar dari para ulama-ulama di sana seperti Imam Muhammad bin Al-Hasan.  
Ketika pemerintahan Al-Makmun yang dikuasai oleh para ulama ahli kalam dan merebak banyak bid’ah, beliau pergi ke Mesir dan beliau membuka halaqah di masjid Amr bin Al-‘Ash.  
4. Guru dan muridnya
Imam Syafi’i mengambil ilmu dari para ulama di berbagai tempat misalnya di Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Yaman, Syam dan Mesir. Imam AL-Baihaqi menyebutkan beberapa orang guru Imam Asy-Syafi’i di antaranya sebagai berikut:        Di Makkkah 
• Imam Sufyan bi Uyainah.  
• Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah.  
• Ismail bin Abdullah Al-Muqri.  
• Muslim bin Khalid Az-Zanji.       
Di Madinah  
• Imam Malik bin Anas.  
• Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawirdi.  
• Ibrahim bin Sa’ad bin Abdurrahman.  
• Muhammad bin Ismail Abu Fudaik.       
Di tempat-tempat yang lain 
• Hisyam bin Yusuf Al-Shan’ani.  
• Mutharrif bin Mazin Al-Shan’ani.
• Waki’ bin Jarrah
• Muhammad bin Hasan Al-Syaibani.  

Adapun murid-murid beliau yang terkenal adalah;  
- Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar tokoh hadits dan fiqih, menjadi syaikh muazzin di masjid Fusthath.  
- Abu Ibrahim Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amr bin Muslim Al-Muzani Al-Mishri.  - Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Mishri Al-Buwaithi.
Beliau juga bertemu dengan Imam Ahmad bin Hambal dan saling mengambil ilmu antara keduanya.

5. Karya-karyanya

Imam Syafi’i memiliki karya tulis yang banyak sekali, di antaranya yang paling terkenal adalah:  
1. Kitab Al-Umm, Kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi ke dalam 40 bab lebih.  
2. Kitab Al-Risalah Al-Jadidah, Kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di-tahqiq oleh Ahmad Syakir.  
3. Selain yang dua ini ada beberapa kitab yang dinisbahkan kepada beliau di antaranya kitab AlMusnad, As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Asy-Syafi’i.  

6. Wafatnya 

Setelah mengalami penyakit wasir yang menyebabkan keluar darah terus menerus, Imam Asy-Syafi’i wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204H dan dimakamkan di Mesir. Wallahu ‘A’lam                       

Thursday, June 29, 2017

Mbah Asy'ari Keras Ayah Pendiri NU (Nahdlatul 'Ulama)

K.H Hasyim Asy'ari
Kiai Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras, yang terletak di Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, sekitar tahun 1876. Ayahanda KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pengasuh Pesantren Tebuireng, ini dikenal pula sebagai perintis tradisi keilmuan pesantren di daerah Jombang.

Lahir di Demak, Jawa Tengah, sekitar tahun 1830. Menurut informasi dari keluarga Pesantren Tebuireng, seperti ditulis KH. M. Ishom Hadziq, ayah beliau bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Wahidadalah salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama “Pangeran Gareng”, di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir alias Sultan Pajang. Sejak muda Kiai Asy’ari nyantri di Pesantren Gedang, dekat Tambakberas, Jombang, sekitar dua kilometer dari pusat kota, dan berguru pada Kiai Usman.Pesantren Gedang didirikan oleh Kiai Abdus Salam atau dikenal dengan nama Kiai Shihah. Kiai asal Lasem, Rembang, ini bersama istrinya, Muslimah, membuka hutan di Gedang untuk mendirikan permukiman dan pesantren pada tahun 1825. Di antara santri beliau adalah Kiai Usman. Sufi dan ahli tarekat ini dinikahkan dengan putri sulung guru beliau bernama Nyai Layyinah. Keduanya kemudian dikarunia seorang putri sulung bernama Halimah (lahir 1851, disapa Winih).
Tidak lama setelah Kiai Usman wafat,
Sekitar tahun 1855 Halimah – ketika itu baru menginjak usia empat tahun dinikahkan dengan Kiai Asy’ari, santri senior Kiai Usman, yang berusia 25 tahun. Alasan pernikahan ini adalah untuk menyelamatkan garis keturunan pendiri pesantren yang akan menjadi pelanjut kepengasuhan pesantren usai wafatnya sang guru. Pasangan baru ini kemudian dikaruniai putra-putri: Nafiah, Ahmad Sholeh, Muhammad Hasyim (lahir 1871), Rodliah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Ma’shum, Nahrowi dan Adnan. Putra ketiga beliau ini yang kemudian terkenal sebagai pendiri Pesantren Tebuireng dan pendiri Nahdlatul Ulama. Nyai Halimah dikenal suka melakoni tirakat dan praktik sufi lainnya – mengikuti jejak ayahnya.Beliau pernah berpuasa selama tiga tahun berturut-turut dengan niat tertentu. Puasa tahun pertama ditujukan untuk kebaikan keluarga, tahun kedua diniatkan untuk kebaikan santrinya. Dan puasa tahun ketiga dimaksudkan untuk kemaslahatan masyarakat. Konon, saking khusyuknya dalam bertirakat, suatu hari saat mencuci beras, beras tersebut berubah menjadi butir-butir emas.

Kiai Asy’ari kemudian pindah bersama keluarganya ke Desa Keras dan mendirikan pesantren di sana sekitar tahun 1876. Sementara Pesantren Gedang berkembang menjadi Pesantren Tambakberas, Jombang, di bawah kepengasuhan saudara misan Kiai Asy’ari yaitu Kiai Said, yang kemudian menurunkan Kiai Chasbullah, ayahahanda KH. Abdul Wahab Chasbullah, pendiri NU. Waktu itu Kiai Hasyim masih kecil, dan baru diboyong dari tempat kelahirannya di Gedang. Di bawah asuhan Kiai Asy’ari Pesantren Keras mengandalkan ngaji kitab-kitab sorogan dan baru belakangan di abad 20 mulai dibuka madrasah. Kebanyakan yang mondok berasal dari Jawa Tengah, terutama dari Ambarawa dan Salatiga. Sementara yang berasal dari Jombang lebih banyak menjadi santri kalong. Para santri tidak tinggal di pondok, tapi ditempatkan di rumah-rumah penduduk. Ini dimaksudkan agar dakwah Islam bisa langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Memang tidak terlihat pemondokan besar. Di pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari digembleng pertama kali oleh ayahnya sebelum mengembara berguru menuntut ilmu di beberapa pesantren.

Kiai Asy’ari wafat sekitar tahun 1890 dan dimakamkan di lingkungan Pesantren Keras. Ketika putra ketiga beliau, KH. Hasyim Asy’ari, menikah di tahun 1892 dengan Nyai Nafisah, putri KH. Ya’qub bin Hamdani, pengasuh Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Kiai Asy’ari sudah tiada. Pesantren Keras kemudian dikelola masing-masing oleh putra beliau, KH. Saleh, dan menantu beliau, KH. Alwi, yang dikenal ahli bela diri dan kanuragan.Di tahun 1930-an,pesantren kemudian diasuh oleh KH. Basuni, lalu KH. Salahuddin (di masa itu tidak ada lagi yang mondok di tahun 1970-an), kemudian KH.Ahmad Labib di tahun 1990-an. Meski tidak sebesar Pesantren Tebuireng, Pesantren Keras mulai membuka madrasah dan berganti nama menjadi Pesantren Al-Asy’ari Keras.

disunting dari berbagai sumber

Tuesday, June 20, 2017

Kyai Ma'shum Ali Seblak, Ulama Nusantara Ahli Ilmu Sharaf dan Ilmu Falak

Kitab Amtsilatut Tashrifiyyah
Kyai Ma’shum bin Ali adalah ulama Nusantara yang terkenal sebagai sebagai maestro ilmu shorof dan juga ahli Falak. Ia juga pengarang kitab Amtsilatut Tasrifiyyah yang masih digunakan sebagai buku ajar tentang ilmu alat shorof hingga saat ini.

فعل - يفعل - فعلا - ومفعلا - فهو- فاعل - وذاك - مفعول - افعل - لا تفعل - مفعل ٢× - مفعل

Bait diatas mungkin tak asing di telinga kita, khususnya kalangan pesantren. Bait yang merupakan bagian dari rumus dari mempelajari ilmu gramatikal ini ternyata adalah mahakarya ulama Nusantara, KH. Ma'shum bin Ali.

Ulama' yang juga pengasuh pondok di Desa Seblak, Kecamatan Diwek inilah Sang Muallif kitab yang menjadi rujukan hampir setiap pesantren bahkan sampai mancanegara. Kitab yang dikenal dengan "Tasrifan" ini membuat ilmu shorof yang terasa rumit begitu mudah karena disajikan dalam bentuk bait.

Kitab mahakarya Menantu KH. Hasyim Asy'ari dari putrinyya Khoiriyyah ini jika diteliti ternyata sistematikan terdapat makna filosofi begitu tinggi. Salah satunya filosofi tentang pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam fi’il tsulasi mujarrad seperti dalam enam kalimat awal setelah wazan فعل - يفعل yakni نصر- ضرب - فتح -علم - حسن - حسب yang bermakna

“Pada awalnya sang santri yang menuntut ilmu ditolong oleh orang tuanya ( ﻧَﺼَﺮَ), sesampainya di pondok pesantren ia dipukul dan dididik ( ﺿَﺮَﺏَ). Kemudian setelah tersakiti dari dipukul, maka hatinya akan terbuka ( ﻓَﺘَﺢَ). Kemudian barulah ia akan menjadi orang yang mengetahui/pintar ( ﻋَﻠِﻢَ) dan yang menuntutnya agar berbuat baik ( ﺣَﺴُﻦَ). Seraya  berharap masuk surga di sisi Allah SWT (ﺣَﺴِﺐَ)."

Dan sistematika diatas dirangkum dalam bait:

ﻓَﺘْﺢُ ﺿَﻢٍّ ﻓَﺘْﺢُ ﻛَﺴْﺮٍ ﻓَﺘْﺤَﺘَﺎﻥِ * ﻛَﺴْﺮُ ﻓَﺘْﺢٍ ﺿَﻢُّ ﺿَﻢٍّﻛَﺴْﺮَﺗَﺎﻥِ


Pengarang kitab Ilmu Sharaf legendaris ini berasal Kota Pudak, Gresik. Awal pendidikannya diasuh oleh ayahnya sendiri kemudian melanjutkan ke Tebuireng. Kedatangannya ke sana juga disusul oleh adik kandungnya, KH. Adlan Ali yang kelak atas inisiatif Hadratus Syeikh, mendirikan Pondok Putri Wali Songo depan Pabrik Gula Cukir, Jombang.

Setelah lama mengabdi di Tebuireng beliau berhijrah ke Dusun Seblak, 300 meter sebelah Barat Tebuireng yang di kala itu masyarakatnya masih banyak yang melakukan kemungkaran, seperti warga Tebuireng di masa lampau sebelum Kyai Hasyim mendirikan pesantren.

Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu yang berkembang menjadi pondok dan masjid dan berkembang cukup pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, tetapi beliau tetap istiqomah mengajar di Madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng, membantu Hadratus Syeikh mendidik santri.

Selain mahir dalam ilmu gramatikal arab dalam Amsila At-Tasrifiyyah, beliau juga memiliki karya lain seperti Fathul Qadir. Kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Kitab ini diterbitkan Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1920-an, ketika beliau masih hidup. Jumlah halamannya lumayan tipis tapi lengkap. Kitab ini juga tidak sulit ditemukan di pasaran.

Ad-Durus al-Falakiyah adalah karya beliau yang lain dalam.bidang ilmu falak, dimana dalam kitab ini ilmu perbintangan ini disajikan dengan simpel karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi matahari, dan sebagainya. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini terdiri atas 3 juz yang setiap juz terdiri dari 109 halaman.

Kitab keempat adalah Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya demikian banyak, berjalan mengelilingi bumi. Teori ini mirip teori Geosentris oleh Claudius Ptolomeus.

Meski berilmu tinggi beliau begitu tawaddu', akrab dengan masyarakat dan bersedia berguru pada siapun tak pandang bulu seperti beliau yang pernah berguru kepada seorang nelayan di atas perahu yakni selama dalam perjalanan haji dan Hasil dari perjalanan itu beliau bisa menuntaskan kitab Badi’ah al-Mitsal.

Beliau juga dikenal sufi dan zuhud sebagaimana sesaat menjelang wafat seluruh fotonya dibakar. Padahal koleksi itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tidak lain karena beliau takut identitasnya diketahui banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.

Dalam kesehariannya beliau juga mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Seperti pada mertuanya Kyai Hasyim sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, tak lupa beliau membawakan kitab al-Jawahir al-Lawami’ sebagai hadiah. Bahkan kitab as-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama hadratus syeikh ketika mengarang kitab.

Tetapi disisi lain beliau juga pernah berdebat dengan sang mertua sebagaimana penuturan almarhumah Nyai Khoiriyah Hasyim. Ada dua persoalan yang pernah diperdebatkan. Pertama, soal hukum foto yang Menurut Kiai Ma’shum tidak haram. Sedangkan Kyai Hasyim berpandangan sebaliknya.

Persoalan kedua adalah permulaan bulan puasa. Kiai Ma’shum, yang mumpuni ilmu falaknya telah menentukannya dengan hisab (perhitungan astronomis), sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan teori rukyatul hilal (observasi bulan). Dan karena perbedaan ini, keluarga Kiai Ma’sum di Seblak terlebih dahulu berpuasa daripada keluarga Mbah Hasyim dan santrinya di Tebuireng.

Di usia 46 tahun, Allah SWT memanggil kekasihnya ini pada 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933 setelah sebelumnya sempat menderita penyakit paru-paru dan dimakamkan di kompleks pemakaman pesantren Tebuireng Cukir Jombang.

Saturday, April 29, 2017

Kitab Fathul Wahab




Judul Kitab : Fathul wahab bi syarhi minhajut thullab

Penulis : Syaikh Abi Yahya Zakaria al Anshori

Kitab Fathul Wahhab adalah salah satu kitab fiqih madzhab Syafi'i yang sangat populer di kalangan santri senior pesantren salaf. Kitab kuning yang satu ini memiliki kerumitan bahasa tersendiri namun selalu dikaji di sejumlah pesantren salaf karena menjadi salah satu rujukan dalam madzhab syafi'iyah.



Monday, April 24, 2017

Kitab Shafwatut Tafasir

Karya Muhammad 'Ali Ash-shabuni

Kusumalibrary.blogspot.com (red) - Kitab Shofwah at-Tafasir merupakan kitab tafsir karangan Muhammad 'Ali As-Shobuni. Beliau menyebutnya sebagai kumpulan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ma’qul. Menyinggung alasan penamaan kitabnya ini beliau menjelaskan, “aku menamai kitabku Shafwah at-Tafasir karena memuat inti dari kitab-kitab tafsir besar yang ku susun lebih ringkas, tertib, mudah, jelas, dan lugas “. Tafsir-tafsir besar yang beliau ambil sebagai rujukan: tafsir at-Thobari, tafsir Kasyaf karya Zamakhsyari, tafsir Qurthubi, tafsir Ruhul Ma’ani karya Al-Alusi, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Bahrul Muhith karya Abi Hayyan, juga dari beberapa kitab tafsir lain dan buku-buku ulumul Qur’an. Dalam Muqoddimahnya, as-Shobuni sedikit curhat mengenai proses kreatif penulisan kitab tafsir ini, “aku merampungkan penulisan kitab ini selama lima tahun siang dan malam. Dan aku tidak menulis sesuatu dalam kitab tafsir ini kecuali setelah aku benar-benar membaca apa yang ditulis ulama-ulama tafsir pada kitab mereka. Sekaligus meneliti dengan sungguh-sungguh supaya aku bisa menilai mana diantara pendapat mereka yang paling benar lalu aku mengunggulkannya”.

Di antara alasan yang membuat penulis tafsir ini tergerak untuk menyusun kitab tafsirnya adalah banyaknya kitab tafsir dan ulumul Qur’an yang ditulis oleh para ulama, bahkan di antaranya merupakan kitab-kitab yang “gemuk” dan pastinya sangat berjasa membantu ulama dan masyarakat dalam memahami Al-Qur’an secara benar. Namun karena tingkat pendidikan dan kebudayaan manusia yang berbeda-beda, menjadikan di antara mereka masih merasa sulit menggapai pesan yang ingin disampaikan seorang mufassir dalam kitabnya. Salah satu solusi mengatasi hal ini, maka seorang ulama dituntut untuk terus berusaha mempermudah dan meminimalisir kesulitan dalam kitab tafsirnya, supaya maknanya bisa lebih terjangkau masyarakat luas.

Syaikhul Azhar DR. Abdul Halim Mahmud memberikan komentar tentang kitab ini, “Shafwah at-Tafasir adalah hasil penelitian penulis terhadap kitab-kitab besar tafsir, kemudian ditulis ulang dengan mengambil pendapat terbaik dari kitab-kitab tersebut yang disusun secara ringkas dan mudah”. Begitu pun yang di sampaikan DR.Rosyid bin Rojih [‘amid kuliyyah Syari’ah dan Dirasat Islamiyyah universitas malik Abdul Aziz] tentang Shafwah at-Tafasir, “ kitab ini sangat berharga, meringkas apa yang dikatakan ulama-ulama besar tafsir dengan menggunakan tata bahasa yang sederhana, teknik pengungkapan yang mudah dan lugas, disertai penjelasan dari segi kebahasaannya. Sungguh sangat memudahkan penuntut ilmu dalam memahaminya”. 

Adapun metode yang diterapkan As-Shobuni dalam tafsirnya:

  • Menjelaskan surat Al-Qur’an secara global, kemudian merinci maksud-maksud yang terkandung dalam surat tersebut
  • Menjabarkan hubungan antar ayat sebelum dan sesudahnya
  • Pembahasan tentang hal yang berhubungan dengan bahasa, seperti akar kalimat, dan bukti-bukti kalimat yang diambil dari ungkapan orang arab
  • Pembahasan tentang Asbab an-Nuzul
  • Pembahsan tentang tafsir ayat
  • Pembahasan ayat dari segi Balaghohnya
  • Penjelasan faida-faidah yang bisa dipetik dari suatu ayat
  • Shofwah at-Tafasir dan Polemik


Di antara karya-karya besar as-Shobuni, Shafwah at-Tafasir adalah yang paling banyak mengundang polemik. Polemik ini lahir terutama saat beliau menafsirkan suatu ayat a la asy’ary [dengan menggunakan methode ta’wil]. Misal sebagaimana yang dipaparkan syeikh Sholih bin Fauzan:

[Surat Al-baqoroh ayat:112] ”… بلى من أسلم وجهه لله…” Dalam menafsirkan ayat ini as-Shobuni mengutip pendapat dari Imam al-Rozi dalam tafsirnya Tafsir Kabir yang menakwilkan “الوجه” dengan “النفس” , maka makna ayat ini menurut al-Rozi: “ memasrahkan diri untuk selalu taat kepada Allah”. Dengan mengambil justifikasi dari ayat: “كل شيء هالك الا وجهه “. Ini hanya satu dari tafsir ayat yang disentil oleh syeikh Sholih bin Fauzan salah seorang ulama Saudi yang menyebut ta’wil pada ayat ini sebagai ta’wil bathil karena ta’wil al-wajh dengan makna ad-zat [sebagaimana manusia] sama dengan meniadakan sifat Allah yang telah pasti. Untuk juz 1 saja Syeikh Sholih bin Fauzan mencatat 54 kesalahan dari berbagai macam disiplin ilmu [termasuk Fiqh, dll]. Keseluruhan kesalahan syeikh as-Shobuni dalam Shofwah at-Tafasir beliau rangkum dalam kitabnya “Al-bayan li Akhtho’i ba’dhi al-Kitab”. Masuk dalam barisan panjang ulama penolak tafsir ini di antaranya: Syeikh Muhammad Jamil Zainu [pengajar tafsir di universitas Darul Hadits makkah], Syeikh Sa’ad Dzullam, Syeikh Bakr Abu Zayd, dll yang masing-masing mengungkapkan kritik dan penolakannya dengan menerbitkan buku.

Dalam buku besarnya “Ar-Rudud”, syeikh Bakr Abu Zayd menyorot perilaku As-Shobuni yang mengumpulkan penafsiran dari penafsir-penafsir besar dengan latar belakang ideologi berbeda dalam satu kitab tafsir, seperti Zamakhsyari yang Mu’tazili, Ibnu Katsir dan Thobary yang Salafi, Ar-Rozy yang Asy’ari, Thibrsy yang Rhofidhy, dll. Aksi penolakan ulama-ulama besar saudi ini mau tidak mau memaksa pihak kementrian badan waqaf Kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menurunkan perintah pelarangan beredarnya kitab ini.

Juga surat edaran dari direktur umum badan waqaf dan masjid di Riyadh bernomor: 945/2/ ص, في 16/4/1408 H melarang penyebaran dan memperbanyak kitab tafsir ini sampai ada perbaikan permasalahan ideologi di dalamnya. Memang benturan ideologi dalam tafsir ini tidak bisa elakan, karena ada saat as-Shobuni menggunakan penafsiran a la Salafy yang mempraktekan methode “tafwidh ilallah” [khususnya ketika beliau merujuk tafsir dari Ibnu Katsir]. Dan ada saaat kita akan melihat beliau mengambil penafsiran a la Asy’ari yang menggunakan methode “ta’wil” [khusunya ketika beliau mengambil tafsir dari Ar-Razi]. Namun untuk Mu’tazilah beliau menjelaskan tidak mengambil dari Zamakhsyari kecuali penjelasan tentang masalah bahasa saja. Kenyataan ini membuat kita sulit mengira-ngira apa gerangan ideologi as-Shobuni.

Terlepas dari permasalahan ideologi As-Shobuni, DR.Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, “ikhtiyarul mar’i qith’atun min aqlihi” maka lanjut beliau lagi, bisa dikatakan apapun yang dipilih dan diambil As-Shobuni dari kitab-kitab tafsir besar merupakan persetujuan beliau terhadap penafsiran-penafsiran itu.

Silahkan bagi para pembaca yang berminat download kitab Shafwatut Tafasir versi pdf. langsung saja klik link dibawah ini.👇
Semoga bermanfaat Wassalamu'alaikum wr.wb

Juz 3