KH
Anwar Ali adalah seorang ‘Ulama besar pengasuh pondok Pesantren Tarbiyatun
Nasi’in Pacul Gowang. KH Anwar Alwi satu periode dengan KH. Hasyim Asy’ari
Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Mereka sama-sama murid KH. Kholil
Bangkalan Madura
Dilihat dari latar belakang keluarga santri yang berbasiskan
pesantren itu sangat wajar apabila kyai Mahfudz Anwar tumbuh di dalam
lingkungan religius dan keilmuwan agama yang tinggi. Mahfudz muda menamatkan
sekolah dasarnya di pesantren Ayahnya sendiri di Paculgowang, kemudian
melanjutkan ke Pondok Tebuireng. Di tebuireng mulai dari
kelas shifir awal, tsani, tsalis, dst (kelas 1 sampai kelas VI). Karena
kecerdasannya yang tinggi maka ketika mencapai kelas IV ia sudah ditugasi untuk
mengajar adik kelasnya, padahal umurnya lebih tua darinya. Ini menunjukkan
bahwa Mahfudz kecil memang sudah kelihatan kecerdasannya. Baru setelah lulus
kelas VI, ia diangkat menjadi guru resmi di Pesantren Tebuireng. Banyak murid
ustadz Mahfudz yang nantinya menjadi orang besar, pemimpin masyarakat, misalnya
KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Tholhah Hasan bahkan Kiai As’ad Syamsul Arifin sempat
berguru padanya.[1]
Disamping
kesibukannya mengajar di pondok Tebuireng Mahfudz muda juga menyempatkan diri
berguru kepada K.H Ma’shum ‘Ali Seblak, seorang ulama ahli falak dan pencetus
nadzam ilmu sharaf dan pengasuh pondok seblak.
Dibawah asuhan K.H Ma’shum Ali, Mahfudz muda menunjukkan bakat yang
luar biasa, sehingga KH. Ma’shum Ali tertarik untuk mengambilnya sebagai
menantu. Hal ini terasa wajar karena tradisi masa itu biasanya seorang Kyai
rata-rata menjadikan Murid terbaiknya sebagai menantu demi kesinambungan
kepemimpinan pesantren. Akhirnya hal itu diberitahukan kepada Mahfudz Muda dan
Keluarganya. Setelah semuanya setuju, maka dilangsungkanlah pernikahan antara
Mahfudz (25 th) dengan Hj. Abidah (9 Th). Setelah nikah Mahfudz masih terus
mengajar di pesantren Tebuireng pada waktu siang hari dan pesantren Seblak pada
waktu malam hari, dan mereka baru berkumpul secara resmi sebagai sebuah rumah
tangga ( Suami-Istri ) pada waktu Hj. Abidah berusia 11 Th.
Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali
wafat. Maka diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim mengambil
alih kepemimpinan pesantren tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren
Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikah dengan Kiai Muhaimin. Mengikuti
sang suami, ia pun pindah ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji,
kepergian sang suami ke Makkah adalah untuk menuntut ilmu dari para ulama di
Tanah Suci.
Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak
bisa lepas dari dunia pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah Darul
Ulum di Makkah, menggantikan ulama besar Nusantara, Syeikh Yasin Al-Fadany,
tercetuslah ide untuk membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci. Pada
tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud. Sebuah madrasah khusus perempuan
pertama di Tanah Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama Madrasah
Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi
prestasi tersendiri bagi umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka madrasah
perempuan pertama di Makkah.
Selama Hj. Khoiriyah Hasyim di Mekkah, Tongkat kepemimpinan pesantren
diserahkan sementara kepada KH. Mahfudz Anwar yang merupakan murid kesayangannya.
Kebetulan KH. Ma’shum Ali hanya dikaruniai dua dan semuanya Putri, yaitu : Abidah
dan Jamilah.
Ketika Hj. Khoiriyah kembali ke Seblak itulah, KH. Mahfudz Anwar
bersama Hj. Abidah membangun rumah sekaligus membangun pondok pesantren di
Jombang tepatnya di jalan Jaksa agung suprapto no. 14 Jombang. Kampung yang
ditempati oleh KH. Mahfudz Anwar sekeluarga itu asalnya adalah perumahan
komplek Belanda yang pada waktu itu menjajah bumi Indonesia. Pada waktu itu tanah
tersebut kena bumi hangus penjajah Jepang, sehingga kondisinya porak poranda,
akhirnya vakum tidak ada pemiliknya yang sah. Ada petugas yang menjaga tanah
itu, namanya Pak Drais ( Suaminya ibu Kholifah, utaranya depot Abadi yang
sekarang sudah meninggal. Pada waktu itu tanah ini berupa kebon seperti Mangga
dll, dan belum ada pagarnya. Rumah kosong itu kemudian diobral, akhirnya KH.
Mahfudz Anwar berhasil memenangkannya. Beliau akhirnya dapat membeli tanah
tersebut dengan harga kira-kira 16 Rupiah. Luas tanah tersebut lumayan luas
(seperti sekarang ini Rumah, Pondok putri, dan Halaman ). Kondisi rumah
itu hancur dan porakporanda, yang ada hanya pondasi kecil, tidak ada dapur dan
atap dan peralatan yang lain. Belum ada Musholla apalagi masjid dan lain-lain.
KH. Mahfudz Anwar pindah ke rumah itu pada tahun 1956. KH. Mahfudz Anwar
membawa 18 Santri Putrinya ( dari Pondok Seblak ) menetap dan menemani beliau
disana.
Mereka bertempat tinggal satu rumah dengan KH. Mahfudz Anwar. Mereka menempati satu kamar panjang ( rumah itu pada waktu dulu ada dua kamar, satu kamar yang panjang untuk 18 santri putri, dan satu kamar untuk KH. Mahfudz Anwar sekeluarga ). Alangkah sederhana kehidupan KH. Mahfudz Anwar sebagai cermin keluhuran budi dan keikhlasannya dalam berjuang menegakkan agama islam.
Mereka bertempat tinggal satu rumah dengan KH. Mahfudz Anwar. Mereka menempati satu kamar panjang ( rumah itu pada waktu dulu ada dua kamar, satu kamar yang panjang untuk 18 santri putri, dan satu kamar untuk KH. Mahfudz Anwar sekeluarga ). Alangkah sederhana kehidupan KH. Mahfudz Anwar sebagai cermin keluhuran budi dan keikhlasannya dalam berjuang menegakkan agama islam.
Karena KH Ma’shum Ali keburu meninggal dunia, dia belajar falak
lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang menjadi kepala pondok
Seblak. Setelah menguasai falak, maka diskusi dan perdebatan dengan mitra
belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus mengasah ketajaman analisis
masing-masing melalui forum musyawarah. Maka tidak heran, KH Mahfudz dan Mas
Dain dalam tempo yang singkat mampu menjadi pakar falak yang betul-betul
mumpuni. Momentum paling tepat untuk menguji kepakaran mereka adalah saat
rukyatul hilal (penentuan) awal Ramadlan dan Syawal, sebuah momen yang
akurasinya sangat ditunggu oleh masyarakat. Setiap menjelang Ramadhan dan
Syawal, Kiai Mahfudz dan Mas Dain pergi ke gunung Tunggorono, sebelah barat
kota Jombang, untuk melakukan rukyah (pemantauan), melihat bulan setelah
diperhitungkan sesuai dengan hasil hisab (perhitungan) masing-masing. Setelah
rukyah selesai, mereka kembali ke pondok mendiskusikan hasil rukyah
masing-masing. Perdebatan, untuk adu argumentasi dan ketajaman menganalisa
serta kecermatan dalam mengamati hilal (tanggal) menjadi kunci kemenangan.
Siapa yang paling benar dan kuat dalilnya yang keluar sebagai pemenang. Kiai
Mahfudz sering menang dalam perdebatan ini. Dengan kecemerlangan dalam ilmu
falak semakin mengukuhkan kualitas keulamaan dan kelebihannya di atas ulama
lain. Kebanyakan ulama, khususnya ulama NU hanya menguasai ilmu fikih. Jarang
dari mereka yang memiliki kepakaran langsung bidang fikih, tafsir dan sekaligus
falak.
Di organisasi NU, ia menempuh jalur dari yang paling bawah sebagai
pengurus ranting (desa) Seblak dan akhirnya masuk ke jajaran PCNU (pengurus
Cabang Nahdlatul Ulama). Ia pernah menjadi rais syuriah dua periode
berturut-turut. Dari NU Cabang Jombang kemudian dipromosikan sebagai pengurus
NU Wilayah Jawa Timur. Namun, karena kepakarannya yang sulit tertandingi pada
ilmu falak, maka dia diserahi tugas memegang posisi Ketua Lajnah Falakiyah PBNU
sampai tahun 1993. Sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Mahfudz sering
mendapat tantangan berat khususnya dari pihak pemerintah orde baru. Pernah
hasil rukyah untuk menentukan hari raya berbeda dengan pemerintah selama tiga
kali berturut-turut. Seluruh kyai dan warga NU berada penuh di belakang Kiai
Mahfudz, benturan antara NU dan pemerintah tidak terelakkan. Walaupun pikirannya
tidak diterima pemerintah, sebaliknya masyarakat sangat menghormatinya.
Terbukti setiap menjelang 1 Syawal mulai ba’da Maghrib sampai larut malam,
halaman rumahnya penuh dengan masyarakat yang ingin mendapatkan kepastian
tanggal jatuhnya bulan Syawal.
Kehandalannya dalam ilmu fikih dan falak membuat pemerintah pada
tahun 1951 mengangkatnya sebagai Hakim Agama Kabupaten Jombang. Jabatan itu
diduduki selama 4 tahun. Melihat prestasi Kiai Mahfudz yang sangat baik di
Pengadilan Agama Jombang, akhirnya tahun 1955, beliau dipromosikan menjadi
Wakil Direktur Peradilan Agama Depag Jakarta. Ia hanya kuat bertahan 3 bulan di
Jakarta. Beruntung, permintaan kembali ke kampung halaman dikabulkan. Namun
tidak di Jombang, tapi di Mojokerto. Di kota ini ia menjabat sebagai Ketua
Pengadilan Agama. Setelah beberapa tahun di Mojokerto, pangkatnya naik menjadi
Hakim Pengadilan Agama di Surabaya.
Pada saat menjabat sebagai hakim di PA Surabaya, ia diminta menjadi
dosen fikih dan tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Beberapa
tahun kemudian, ia dipilih menjadi dekan pertama di Fakultas Ushuluddin IAIN
Surabaya. Selain itu juga ngajar di Universitas NU Surabaya. Seluruh waktunya
untuk mengabdi di NU dan masyarakat terutama dalam pengembangan dan pengajaran
lmu falak yang semakin tidak diminati. Sampai akhir hayatnya, ia masih berusaha
melakukan hitungan falak sampai tahun 2003. Dalam sebuah pertemuan KH Mahfudz
berkata, "Kita harus memperhatikan pengetahuan umum dan ketrampilan agar
anak-anak kita siap pakai nantinya, seperti KH A Wahid Hasyim yang mampu
menjadi menteri agama." Ketika usianya semakin senja, tokoh itu sangat
prihatin, sebab semakin sedikit santri yang berminat dalam bidang falak.
Di pesantren sendiri ilmu itu hanya diajarkan sambil lalu, sebagai
pengenalan, tidak dikaji secara mendalam. Dia pun lantas mengambil langkah
dengan membuka pengajian khusus ilmu falak di rumahnya. Pengajian khusus itu
banyak diminati masyarakat, tidak hanya santri, tetapi banyak warga NU. Forum
pengajian selalu ramai karena dihadiri oleh para ulama dari kabupaten Jombang,
Kediri, dan sekitarnya. Kiai Mahfudz wafat pada malam Jumat, 20 Mei 1999. Walaupun
sehari-hari disibukkan dengan kegiatan mengajar dan mengurus birokrasi dan juga
di pengurusan NU, namun tidak menghalangi kiai ini untuk berkarya secara
kualitatif. Di antara karya tulisnya yang bisa diidentifikasi adalah:
* Fadlail
al-Syuhur, sebuah kitab yang tidak ada namanya, namun berisi keutamaan semua
bulan, mulai Syawal sampai Ramadlan.
* Risalah Asyura min Ahlis Sunnah Wal
Jamaah, menerangkan tentang keistimewaan bulan Asyura, Muharram. Kandungan buku
ini beliau sebar ke masyarakat sekitar dan mengajak mereka bersama-sama
mengamalkannya.
* Penulis pertama Nadhoman Tahsrif Lughowiyah dan Ishtilahiyah
dalam kitab Amtsilah Al-Tashrifiyah. Kitab itu kemudian diserahkan di ke
penerbit di Timur Tengah untuk dicetak. Para ulama Timur Tengah kagum pada
kecerdasan dan kreatifitas ulama ini, sehingga kitab tersebut menjadi kurikulum
wajib di sekolah-sekolah di Timur Tengah.